Cerita Pendek "Waktu Indah" Karya Selvi Nandita Ferdana H.W

 

Waktu Indah

Selvi Nandita Ferdana H.W

Lambat-lambat langkahnya, agaknya sedikit kesusahan ia menggerakkan sebuah kakinya lalu ke kaki kirinya. Terasa sekali detak jantungnya mulai kacau, wajahnya yang lalu menyeruak kesukaan, kini terbit kemuraman. Pikirannya berkeliaran, takutnya mereka benar. Sudah dipikirnya masakan mamak dirumah, masakannya yang khas itu selalu menggodanya untuk tak berhenti makan. Meski jumlah masakan mamak tetap sama seperti hari-hari biasa, setidaknya ia menikmati rasa kebersamaan bersama keluarganya. Rencananya seperti itu, sekarang semua rancangannya berantakan. Tak lagi bisa dipikirnya, sudah hilang minatnya itu menyambut ramadhan.

Kabar duka telah datang tadi, secara mendadak acara untuk kompetisi paduan suara dimajukan meski kemampuan tak mencukupi. Agaknya akan terasa dipaksakan meski latihan telah lama dilakukan namun tetap saja hasil akhirnya masih akan tetap tidak memuaskan. Masalahnya bukan karena kapasitas latihannya yang kurang lalu akan tak dapat juara, berita kompetisi akan dilaksakan awal puasa membawa kabar buruk baginya.

“Mbak pulang kan puasa nanti?”

“Enggak mak, padusnya dimajukan jadi awal puasa tampilnya.”

“Kok bisa gitu?”

“Enggak tau, aku ngikut aja.” Randu berujar.

Dua menit saja biasanya, tapi pembicaraannya itu diperpanjang sampai lima belas menit lamanya. Cukup sanggup membuat bendungan air pada mata yang sanggup terjun bila diinginkan. Terhitung dua kali bulan puasa dalam dua tahun ia tak pulang, untuk alasan itulah ocehan mamaknya itu dirasa memang bermutu. Randu tak pandai mengelak jadi dibiarkan saja ocehan ibu negara menyeruak habis-habisan hingga mamaknya itu lelah lalu mengucapkan salam dan langsung mematikan telephonenya itu.

Makanan di piring telah ludes setengah jam yang lalu, tapi tetap Randu tak segera beranjak pergi. Saras, teman satu-satunya itu tetap saja berceloteh bercerita kesana kemari.

"Ran, main yok kerumahku. Buka puasa bareng nanti kita." Selanya berujar.

"Banyak makanan gak? Bisalah nanti tinggal diatur."

"Serius ya, jangan cuma ngomong doang."

"Insyaallah tapi gak janji ya, aku ini orang sibuk soalnya."

Barangkali niatnya memang baik, mengisi kekosongan di siang itu. Mestinya dengan cuacanya yang mendung dengan sang Surya disembunyikan dibalik gelapnya gumpalan kapas akan tidak membuat Suasana sesak dan panas bergelantungan di diri Randu. Patutnya ia akan menimpali ucapan Saras yang berceloteh cerita mamaknya yang sudah pergi kepasar membeli serangkaian kebutuhan sebagai persiapan puasa beberapa hari lagi. Suhu udara yang dingin ini tak membantu mencairkan kejanggalan dihatinya. Rasanya kalut, begitu saja.

Kalau ditanya apa suaranya bagus, tentu tidak. Lagu balonku ada lima saja kalau dinyanyikannya akan terasa tak sedapnya. Kalau-kalau dinyanyikan lagu yang lebih sulit lagi akan hancur sudah lagunya, kasihan. Randu itu tidak hobi apapun dan menyanyi adalah sebagai pengiring sepi diantara puluhan pilihan kegiatan-kegiatan yang masih memiliki minat yang terbilang rendah. Di semester awal banyak sekali kawan-kawannya itu bergerak mencari organisasi yang memadai bakat yang dimiliki dan Randu adalah salah satunya. Tapi masalahnya, dia itu berbeda. Dengan bakat yang minimum dan minat yang kecil itu dicarinya kegiatan yang akan sesuai tapi tetap saja masih tidak ada bentuk organisasi yang sanggup mengubah minatnya menjadi naik tingkatannya. Satu-satunya ketertarikan Randu adalah Paduan Suara. Ia memang tak punya hobi tapi menyanyi adalah hal yang masih sanggup Randu lakukan meski bakatnya sangat minimum. Dan jadilah dia terjebur dalam dunia nyanyi-menyanyi yang masih dalam level rendahnya itu. Ceritanya begitu, latihan tiap Minggu lalu akan tampil dan selesai. Tapi tetap saja ia adalah pengatur rencana terburuk yang semua rancangan jadwalnya akan tetap tak sesuai.

Bila biasanya Randu merebahkan tubuhnya setelah sampai kost, membuka benda pipih yang setia dibawanya terus-terusan, hingga tiba-tiba matanya memberat lalu tidur tetapi seperti dua bulan yang lampau, rutinitasnya ia paksa rubah. Ia ubah jadwal istirahatnya menjadi jadwal wajib untuk bangun dari tempat tidur. Tak tega sebenarnya membiarkan benda empuk itu mengosong, membiarkannya sendiri. Itu berat tapi, Randu memikirkan langkah baik untuk mengubah kebiasaan buruknya itu. Hasil yang diperoleh adalah kesukaran, mengehentikan kebiasaan itu adalah hal terburuk.

"Mak..." Randu memelas, inginnya ia tak menangis tapi air matanya itu terlanjur menetes.

"Apa,"Suara mamaknya menyahut.

"Mau pulang..." Suaranya parau, dikecilkan sekali agar mamaknya itu tak menyadarinya. Biasanya ia tak selemah itu, menangis adalah pikiran terakhir hal yang akan diperlihatkan oleh mamaknya itu. Nyatanya ia tetap anak mamak, anak perempuan pertama yang meski berusaha tabah dan mengalah kepada adiknya tetapi sebenarnya ia tetap ingin menjadi nomor satu di hati mamaknya itu. Dijauhkannya handponenya, jauh-jauh sampai suara mamaknya hanya terdengar samar-samar. Ia tarik nafas panjang lalu pelan-pelan ia dekatkan handphone nya mendekat lalu menekan loudspeaker agar ia tetap dapat menjauhkan benda itu tetapi tetap dapat didengar suara mamaknya.

"Katanya masih ada kegiatan? Yo kalau mau gak ikut yaudah pulang aja. Mamak nanti nyuruh mbak Dea buat barengin pulangnya. Mbak Dea baliknya sebelum puasa."

Ia enggan menjawab, rasanya cukup lelah ia. Cepat-cepat saja ia mengakhiri panggilan itu. Meski hanya sekejap tapi kepeduliannya itu menenangkan sekali, suara tuanya yang meski tak terkesan lembut itu seakan menghangatkan kegelisahan hatinya secara mendadak.

Puasa pertamanya ditahun ini diiringi dengan pagi santai meski pikirannya semrawut. Kegiatannya masih besok tapi tetap tak bahagia terasa. Kemarin mbak Dea, sepupunya itu sudah pulang. Sangat sayang, tapi mau bagaimana lagi. Sudah ada tanggung jawab besar dipikul dipundaknya. Benda pipih yang diletakkan begitu saja diatas meja disebelah tempat tidur itu berbunyi, dering lagu Korea yang yang menjadi soundtrack drama yang pernah Randu tonton. Diraihnya benda itu, nama bapak terpajang Disana. Ia sudah terbiasa, biasanya telfon mendadak seperti ini akan diterimanya secara tiba-tiba.

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam, ngapa Mak?"

“Lagi ngapain sekarang?”

"Lagi beres-beres kosan," Jawab Randu.

Tidak, sebenarnya Randu masih di tempat tidur, merebahkan tubuhnya karena lelah dengan keadaan yang mengharuskannya ikut didalamnya. Itu pengalihan, biasanya.

"Buka gerbangnya, mamak didepan."

"Ha?" Seketika  dia terdiam. Biasanya mamaknya memang sering begitu, datang secara mendadak tanpa diberi kabar dahulu, tapi yang ini terlalu mendadak, bahkan suara motor bapaknya itu tidak didengarnya, tiba-tiba saja ditelfon.

Tak tahu senyumannya itu langsung muncul dan susah sekali diubahnya. Randu sambut saja orangtuanya itu dengan senyum yang masih tepatri diwajahnya itu. Hari suramnya seperti lenyap, tergantikan oleh kegembiraan. Orangtuanya yang datang berjumpa dengannya di puasa pertamanya ditahun ini seperti penghantar kedamaian dihatinya.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertama Kali Ikut Lomba Fotografi Hitam Putih, Muhammad Riski Arifan Langsung Raih Juara Tingkat Nasional