Cerita Pendek "Teduh" Karya Melanda Haristiah
TEDUH
Melanda Haristiah
“Tinn…tinnn!!!” suara klakson kendaraan bersahut-sahutan tak kala lampu merah berubah menjadi hijau. Semua orang yang ada di jalan nampak terburu-buru, entah memang sedang ada yang dikejar atau hanya malas menunggu di tengah teriknya matahari yang tepat di atas kepala. Pukul 13.00 WIB, hari itu cuacanya memang sangat terik, aku hanya diam di bawah atap halte menunggu bis sampai sambil memegang sebotol minuman dingin yang dari tadi belum sempat ku minum.
Dari
kejauhan aku melihat seorang wanita berambut sebahu dengan pakaian lusuh duduk
di pinggir trotoar yang ada di seberang halte. Parasnya cukup cantik dengan
hidung mancung dan dagu yang nampak lancip. Hanya saja penampilannya seperti
tidak begitu terawat. Wanita itu nampak sedang asik bermain bersama seorang anak
perempuan berusia sekitar 5 tahun. Mereka duduk di atas selembar kardus yang
dijadikan alas. Pandanganku tak lepas dari mereka berdua. Garis bibir yang tergambar
dari senyuman wanita itu seperti sangat tulus.
Aku
melangkahkan kakiku dengan cepat, menyebrangi jalan dan mencoba menghampiri
wanita tersebut. Kubungkukkan tubuhku seraya memberikan minuman yang sedari
tadi ku genggam.
“Adek
mau?” tanyaku sambil menyodorkan sebotol youghurt pada anak kecil itu.
Wanita tersebut sontak langsung memandang kearahku dan menyambar botol yang
kuberikan sambil tersenyum. Setelah itu ia langsung berkemas dan menggendong
anaknya lalu beranjak meninggalkanku tanpa berkata sepatah kata pun. Aku
terdiam sejenak sambil bertanya-tanya pada diriku sendiri, “apakah yang aku
lakukan salah ya? Tapi aku melihat betul ia tersenyum ketika ku berikan youghurt
tadi”. Kepalaku cukup dipusingkan
dengan pertanyaan-pertanyaan kenapa wanita tadi meninggalkanku tanpa berkata
apapun.
Melihatku
berdiri seperti sedang kebingungan, seorang ibu-ibu bersahut dari dalam sebuah
warung kopi yang tak jauh dari tempat aku berdiri.
“Namanya
Imah, ia mengidap ganguan jiwa” ujarnya Ibu tersebut dari dalam warungnya. Mendengar
ucapannya, aku menjadi tertarik mendengar kisah Imah ini. Ku hampiri warung itu dan langsung ku
lontarkan pertanyaan.
“Ibu
mengenal wanita tadi? Siapa dia?” tanyaku penasaran
“Tentu
saja aku kenal, hampir setiap hari dia duduk disini bersama anaknya tadi. Ia
adalah seorang tunawisma, sayangnya ia memiliki gangguan jiwa. Tapi jika sedang
tidak kumat ia bisa diajak ngobrol seperti orang biasa.”
“Mana
keluarganya? Kok dia seperti tidak terawat begitu?” lanjutku.
“Entahlah
nak Ibu juga tidak begitu tahu darimana asal-usulnya dan dimana keluarganya,
sejak Ibu mendirikan warung ini dia memang sudah ada di daerah sini. Menurut
cerita orang-orang sekitar, Imah bukan orang asli sini. Ia datang pada saat
hamil besar dan saat itu ia melahirkan di jalanan. Bahkan kabarnya tidak
diketahui siapa ayah anak tersebut.”
Hatiku
rasanya seperti terisis mendengar sedikit ceritanya, usia Imah sepertinya tidak
begitu jauh denganku mungkin sekitar 28 tahunan. Tapi keadaan kami sangatlah
berbeda, aku seketika merasa tertampar mengingat betapa seringnya aku
mengeluhkan hidupku. Rasa penasaranku dengan sosok Imah ini semakin
menjadi-jadi. Keesokan harinya, sepulang kerja aku langsung ketempat kemarin
dengan harapan bisa bertemu kembali dengan Imah.
Hari
ini aku sengaja membawa beberapa bungkus roti dan susu untuk ku berikan pada
Imah dan anaknya. Sama seperti kemarin, Imah terlihat duduk di pinggir trotoar
sambil menggendong anaknya. Aku langsung berjalan menghampirinya, semoga saja
kali ini ia tidak pergi lagi seperti kemarin sebab aku ingin sekali berbicara
denganya.
“Hallo
Adek, ini Kakak yang kemarin ngasih yoghurt, masih ingat nggak?” sapaku
sambil tersenyum. Imah juga langsung tersenyum kepadaku.
“Ini
Kakak ada roti sama susu buat Adek, diambil yaa.”
Aku
langsung meletakkan kantong berisi susu dan roti itu di depan Imah dan Aku
berinisiatif untuk duduk di sebelah Imah. Namun belum sempat aku duduk Imah
sudah beranjak berdiri sambil mengambil kantong yang kuberikan tadi. Ia
tersenyum padaku dan kali ini ia berbicara padaku walaupun hanya mengucap
terimakasih. Rasanya senang sekali walaupun aku belum bisa ngobrol langsung
denganya.
Besoknya
aku mengulangi hal yang sama, aku membawa buah-buahan dan snack untuk anaknya
Imah. Aku masih menunggu ditempat Imah biasanya duduk. Tak berselang lama
akhirnya Imah datang juga sambil menggendong anaknya.
“Hallo
Adek, Kakak datang lagi nihh” ucapku ceria.
“Kakak
bawakan kamu buah-buahan, kamu suka makan buah?” tanyaku ramah pada anak Imah.
Anak tersebut hanya mengangguk sembari matanya tak luput memandangi buah yang
aku bawakan.
Namun
sialnya Imah masih seperti kemarin-kemarin, ia hanya tersenyum, mengambil
bawakan yang ku berikan, berterimakasih, lalu pergi. Aku cukup kecewa
perjuanganku belum berhasil. Tapi entah mengapa semenjak aku bertemu Imah aku
menjadi bahagia dan momen pulang mengajar menjadi menyenangkan. Melihat
senyuman Imah dan anaknya cukup meluluhkan hatiku. Semenjak hari itu, menemui
Imah sepulang mengajar menjadi rutinitasku setiap hari. Walaupun yang bisa aku
berikan hanya sedikit paling tidak aku bahagia bisa berbagi kebahagiaan dengan
mereka.
Hampir
setiap hari aku datang dijam yang sama, tapi hari ini aku datang lebih awal
dari Imah. Setelah hampir satu jam menunggu akhirnya ia pun datang sambil
menggendong anaknya. Seperti biasa ku berikan makanan yang memang sengaja aku
bawakan untuk mereka, dan sesekali aku mencoba mengajak Imah berbicara.
“Berapa
umur anakmu?” tanyaku.
“5”
jawabnya singkat tanpa memandang ke arahku.
“Ohh
5 tahun, namanya siapa?” lanjutku.
“Rani”
tegas Imah.
Tak
lama kemudian Imah lanjut bergegas pergi setelah mengambil pemberianku. “Huhh..
ternyata susah sekali ya mengajaknya ngobrol” keluhku. Tapi paling tidak dari
hari ke hari ia semakin berani berbicara denganku. Selepas Imah pergi aku
lantas berjalan ke arah warung yang kemarin ku hampiri.
“Anaknya
Imah itu tidak bisa berjalan ya Bu?” tanyaku pada Ibu penjaga warung yang
sedang duduk di sebuah bangku depan warungnya.
“Bisa,
anaknya normal kok”
“Lalu
kenapa Imah selalu menggendongnya kemana mana? Anak itu sudah 5 tahun, pasti
sudah cukup berat untuk digendong” tanyaku penasaran.
“Imah
selalu menggendong anaknya, katanya ia takut nanti ada laki-laki jahat yang
mengambilnya”.
“Laki-laki
jahat?” lanjutku.
“Imah
takut pada laki-laki, menurut berita yang beredar disekitar sini, waktu itu
Imah pernah diperkosa. Parasnya yang cantik membuat ia sering diganggu bahkan
sampai dilecehkan walaupun imah mengidap gangguan jiwa seperti itu. Anak yang
ia gendong kemana-mana itu adalah anak dari lelaki yang memperkosanya. Oleh
sebab itu Imah terlihat seperti menghindari orang-orang yang tidak ia kenal dan
selalu menggendong anaknya kemana saja untuk menjaganya.” Jelas Ibu tersebut.
Sebagai
sesama wanita mendengar kisah Imah ini membuat hati siapa saja teriris. Aku tak
habis pikir bisa-bisanya ada orang yang tega melakukan hal keji seperti itu
padanya. Tapi tanggung jawab Imah pada anaknya sangatlah besar, kondisi
mentalnya tidaklah mengurangi rasa sayangnya pada Rani. Tubuhnya yang mungil
dan kurus itu kemana-mana menggendong seorang anak berusia 5 tahun. Benar
sekali kata pepatah yang mengatakan bahwa “Seorang Ibu akan berjuang
membahagiakan anaknya, sekalipun dia harus mengorbankan kebahagiaannya”.
Komentar
Posting Komentar